TANA' LUWU

Senin, 25 April 2011

lambang pemerintahan kabupaten luwu
lambang pemerintahan kabupaten luwu
Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tanah Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.
Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang di tantang oleh hulubalang Kerajaa Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah di seluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke Utara Poso. Dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tator. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:
* Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
* Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:
* Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
* Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
* Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:
* Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
* Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
* Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
* Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
* Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Noppong, Pemerintah Jepang tidak merubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah ” Kambo Opu Tenrisompa” kemudian diganti oleh putranya “Andi Jemma” .
Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pejuang Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo: Masamba, Malili, Tanatoraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.
Atas jasa-jasan beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara Kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.
Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk ke dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan “Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia”.
Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di kota Palopo.
Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain: – Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. – Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.
Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:
* Kewedanaan Palopo
* Kewedanaan Masamba dan
* Kewedanaan Malili.
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.
Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu: – Wara – Larompong – Suli – Bajo – Bupon – Bastem – Walenrang – Limbong – Sabbang – Malangke – Masamba – Bone-bone – Wotu – Mangkutana – Malili – Nuha
Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.
Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratip (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.
Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Luas Wilayah Propinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata di lapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar propinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luasn wilayah propinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.
Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.
Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun1999.
Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:
I. Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tator, dari 16 kecamatan, yaitu: – Kec.Lamasi – Kec.Walenrang – Kec.Pembantu Telluwanua – Kec.Warautara – Kec.Wara – Kec.Pembantu Waraselatan – Kec.Bua – Kec.Pembantu Ponrang – Kec.Bupon – Kec.Bastem – Kec. Pemb. Latimojong – Kec.Bajo – Kec.Belopa – Kec.Suli – Kec.Larompong – Kec.Pembantu Larompongselatan
II. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:
1. Kec. Sabbang
2. Kec. Pembantu Baebunta
3. Kec. Limbong
4. Kec. Pembantu Seko
5. Kec. Malangke
6. Kec. Malangkebarat
7. Kec. Masamba
8. Kec. Pembantu Mappedeceng
9. Kec. Pembantu Rampi
10. Kec. Sukamaju
11. Kec. Bone-bone
12. Kec. Pembantu Burau
13. Kec. Wotu
14. Kec. Pembantu Tomoni
15. Kec. Mangkutana
16. Kec. Pembantu Angkona
17. Kec. Malili
18. Kec. Nuha
19. Kec. Pembantu Towuti
III. Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:
1. Kecamatan Bara
2. Kecamatan Cendana
3. Kematan Mungkajang
4. Kecamatan Telluwanua
5. Kecmatan Telluwarue
6. Kecamatan Wara
7. Kematan Wara Barat
8. Kecamaatan Wara Selatan
9. Kecamatan Wara Timur
10. Kecamatan Wara Utara
IV. Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
1. Angkona
2. Burau
3. Malili
4. Mangkutana
5. Nuha
6. Sorowako
7. Tomoni
8. Tomoni Utara
9. Towuti
10. Wotu
Setelah Pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:
* Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
* Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
* Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
* Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.
LUWU BERWAJAH BARU

LUWU BERWAJAH BARU
Dalam tahun 2002 Raja Luwu terakhir Andi Jemma, telah dinyatakan presiden RI selaku pahlawan nasional pada tanggal 8 November 2002. Beliua dalam masa revolusi bersama dengan rakyat tana Luwu mendukung sepenuhnya proklamasi 17-8-1945, kemudian mengankat senjata melakukan perlawanan terhadap NICA mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ,beliau mempertaruhkan kerajaan, diri dan keluarganya bersama dengan rakyatnya mendukung kemerdekaan Republik Indonesia dicintainya.
Beliau bersama dengan permaisyurinya meninggalkan istananya menyingkir; setelah pertempuran berlangsung di kota Palopo oleh rakyat Luwu melawan tentara NICA tanggal 23 –1-1946.
Hingga tanggal 23 Januari 1946 dinyatakan dan dirayakan oleh rakyat Tana Luwu selaku hari perlawanan semesta rakyat Luwu. Namun beliau sudah lama tiada, telah puluhan tahun marhum. Andi Jemma adalah raja ke 36 dari kerajaan Luwu menurut silsilah keturunan raja-raja Luwu.
Setelah istana kerajaan Luwu diduduki oleh NICA, raja Luwu bersama dengan permaisyurinya Andi Tenripadang menyingkir ke keluar kota Palopo ke perkampungan penduduk dalam wilayah daerah kerajaannya, misalnya ke Lamasi pantai, Wailawiè, Batuputè dan lain tempat, tetapi akhirnya beliau tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke Ternate. Sementara rajanya dalam pengasingan, rakyat Luwu diperintah kembali oleh Belanda, tetapi dendam kesumat rakyat Luwu tidak pernah padam. Dendam yang ibarat api dalam sekam.
Daerah kerajaan Luwu setelah pembentukan Kabupaten, seluruh daerahnya masuk didalam wilayah Suwawesi-Selatan sekarang. Namun pada masa sebelum jaman penjajahan; sebelum kolonial Belanda datang, malah sesudah kemerdekaan; Luwu masih luas daerah wilayahnya bila dibanding dengan kawasan yang disebut tana Luwu sekarang.
Luwu sampai tahun enam puluhan masih meliputi Kabupaten Tana-Toraja Sul-Sel dan Kabupaten Kolaka, batasnya buapinang, Sulawesi-Tenggara. Sebelum masa penjajahan, Luwu meliputi Poso-Kolonedale, Sulawesi-Tengah. Siwa Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo, mulai dari Buriko sampai batas sungai Akkotengen.
Daerah ini, selama berdirinya mengalami suka-duka. Malah kalau kita tilik dalam sejarah penundukan Kolonial Belanda, salah satu dari kerajaan di Sulawesi Selatan yang tidak lama dibawah kekuasaan Belanda. Karena Belanda baru berhasil menduduki Palopo, ibu kota kerajaan Luwu dalam tahun1905, setelah berlangsung pertempuran dahsyat antara rakyat dan patriot Luwu melawan Kompeni Belanda. Perlawanan rakyat Luwu terhadap serangan Belanda pada saat Kompeni Belanda dari arah Selatan datang menyerang ibu kota tana Luwu dan melakukan pendaratan Palopo dipantai Panjalaè. Disana disambut dengan perlawan oleh rakyat Luwu yang dipimpin oleh Hulubalang kerajaan Luwu Andi Tadda, hingga peristiwa dan perlawanan rakyat Luwu ini disebut perang Punjalaè. Pongjalaè ini pinggiran selatan Tanjung Mas pelabuhan kota Palopo.
Hal ini mungkin dipertanyakan, mangapa bisa terjadi; Goa, Bone dan daerah lain di Sulawesi sudah takluk, masih dalam abad XVII dibawah Kompeni VOC. Apa penyebabnya hingga Luwu tidak langsung takluk pada kompeni. Utamanya pusat pemerintahan Luwu di Palopo. Tidak langsung dicampuri dan diperintah oleh Kompeni Belanda.
Kembali kepada jaman Bahari.
Konon sejarah Luwu ini merupakan simbol dari keturunan raja-raja asal Sulawesi Selatan diluar Sulawesi. Dimanapun mereka berada dan turut duduk dalam pemerintahan pada kerajaan setempat, mereka ini masih tetap mengikut-sertakan silsilah keturunan, nama leluhurnya berasal dari Kerajaan Luwu.
Nama Luwu ini tidak luput pula dihubungkan dengan nama seorang putera perkasa Luwu, yang dimitoskan berkekuatan diatas kekuatan manusia biasa, yang bernama ‘Sawerigading’. Sehingga Luwu dijuluki dengan nama ‘Bumi Sawerigading’. Sawerigading ini adalah putera mahkota kerajaan Luwu. Namun dalam hidupnya Ia tidak pernah menduduki tahta kerajaan di Luwu. Adik perempuannya yang bernama ‘Tenriabeng’ yang dinobatkan ayahnya duduk ditahta memerintah, setelah abangnya pergi mengembara. Menurut kisah-kisah orang tua-tua di tana Luwu, Sawerigading melayari berbagai pulau dikepulauan Bahari sampai ke Cina. Dari kisah-kisah ini dikenal pula di Tana Luwu nama-nama Palempang/ Palembang, Bangkè/ Bangka, Singgaraja/Singaraja, Paluaè/Palu dan lain nama, yang sekarang dikenal dengan nama-nama berbagai kota di berbagai pulau di Indonesia.
Serangkaian dengan kisah ‘sastra Lagaligo’ yang diungkapkan orang tua-tua Luwu, dikisahkan Sawerigading mempunyai seorang putera cerdik dan pandai yang bernama ‘Lagaligo’. Lagaligo inilah yang menciptakan ‘aksara” yang disebut ‘aksara Lagaligo’, yang sampai sekarang dikembangkan menjadi aksara lontara, selaku dasar aksara dari tulisan Bugis dan Makassar. Dalam rangkaian kisah ini pula disebutkan Sawerigading menuju ke Cina dan kembali dengan membawa permaisyuri dari puteri Cina yang bernama ‘ I’ Chu Da’i’.
Dalam jaman revolusi pisik.
Tindakan dan perlakuan kejam Belanda di Sulawesi Selatan yang dipimping oleh Westerling yang menurut sejarah Sulawesi Selatan dikenal dan dikenang dengan korban 40.000 Jiwa, tidak dirasakan langsung di kerajaan Luwu, tetapi pemuda-pemuda Luwu tidak ketinggalan turut mengambil bahagian. Pemuda-pemuda dari tana Luwu keluar dari Luwu, turut bergerilya membantu pemuda-pemuda di daerah lain, hingga di Luwu dijadikan somboyang pemuda pada masa revolusi “Luwu-Maserengpulu-Polombangkeng” pantang menyerah dan tidak akan taklut kepada Belanda. Malah pemuda asal Luwu lainnya menyeberang ke pulau Jawa turut mengambil bahagian, di pulau Jawa bersama pemuda Indonesia lainnya mempertahankan kemerdekaan. Hanya disayangkan karena diantara pemuda-pemuda ini, mereka merasa idenya selalu ditampikkan, dirinya dirasanya diabaikan dan malah disisikan, hingga Kahar Muzakkar akhirnya dinyatakan oleh pemerintah selaku pembangkan dan pemberontak Negara.
Dalam perjalanan sejarah, setelah penyerahan kedaulatan RI oleh pemerintah Belanda. Setelah berlangsung konfrensi Meja Bundar di Den Haag tanggal 29 Desember 1949, Luwu mulai awal tahun limapuluhan merubah sejarah. Mulai dari tahun 1953 Luwu menjadi tempat pusat pergerakan DI/TII, yang membawa gangguan keamanan selama belasan tahun di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Akibat kekacauan dan gangguan keamanan ini, daerah Luwu menjadi salah satu daerah yang tertinggal diposisi belakang dalam berbagai bidang, utamanya pendidikan, ekonomi dan pembangunan. Dapat dibayangkan daerah Luwu ini, setelah pertengahan tahun limaluhan, daerah Luwu yang luasnya lebih dari 17 ribu kilometer bujur sangkar lebih, hanya sekitar tujuh puluh kilo meter saja yang dikuasai oleh pemerintah danTNI. Inipun hanya sepanjang pinggir jalanraya saja, selebihnya dikuasai oleh pemberontak. Hanya sebatas Masamba, Palopo sampai Bua saja.
Pergolakan dan kekacauan di daerah Luwu ini, membawah daerah ini belasan tahun dalam keterkurungan. Potensi alam dan lahan yang dimiliki daerah ini menjadi terbengkalai. Tidak dikelolah apalagi hasilnya diperjual belikan untuk diekspor. Selama kekacauan didaerah ini, Luwu menjadi terisolasi dari daerah luar. Tampuk pimpinan pemerintah baik dari Propensi apalagi dari pusat tidak tertarik datang ke Palopo ibu kota Luwu. Apalagi hubungan lalu-lintas darat antara Makassar dengan Palopo sangat sulit. Hanya satu poros jalanan ke Palopo via Enrekang ke Tana Toraja terus ke Palopo. Poros jalan darat lainnya lewat selatan ke Belopa Kabupaten Luwu dan Siwa Kabupaten Wajo tidak dapat dilalui, karena jalanan mengalami kerusakan total, semua jembatan terendam dalam sungai.
Setelah keamanan di Sulawesi selatan dan Tenggara pada pertengahan tahun enampuluhan pulih, daerah Luwu tidak segera normal, karena sarana jalanan yang rusak tidak mudah ditanggulangi. Walaupun demikian, hasil hutan dan potensi lainnya mulai di garap perlahan, beransur-ansur memberi hasil.
Hasil hutan berbentuk kayu bundar dan rotan sudah mulai di kelola. Begitupun kopra dan hasil pertanian berupa beras sudah dikirim keluar daerah Luwu. Daerah Luwu yang luas; Kabupaten yang terbesar di Sulawesi Selatan, sebahagian besar lahannya adalah hutan belantara. Dibanding dengan jumlah penduduk pada akhir tahun enam puluh, Luwu memiliki penduduk masih jarang untuk mengelolah daerah yang luas.
Kebijaksanaan transmigrasi dari pemerintah pusat, mengirim transmigrasi nasional ke daerah Luwu turut mempercepat perhatian pemerintah pusat ke daerah ini. Transmigrasi nasional ini ditempatkan ditanah-tanah subur dilembah sungai Kalaèna dan tanah-tanah subur lainnya di daerah Luwu-Utara, di Kecamatan Bone-bone, Wotu dan Mangkutana dalam tahun tujuh puluhan. Selain itu terjadi teransmigrasi lokal dan perpindahan penduduk secara suka rela dari dalam wilayah Sulawesi Selatan, contohnya transmigrasi lokal di Kecamatan Malangke. Disanalah dimulai dengan penanaman jeruk manis.
Kehadiran PT INCO mengexpolorasi pertembangan nikkek di Suruako, waktu itu masih kecamatan Nuha, sekarang kabupaten Luwu Timur mempercepat perhatian pemerintah pusat ke Daerah Luwu. Usaha dari perusahaan Canada mengolola tambang nikkel dipinggiran danau tiga seuntai ‘Towoti, Matana dan Mahalona’ mempercepat membanjirnya berbagai suku bangsa Indonesia ke Luwu mencari pekerjaan, malah berbagai bangsa yang turut dalam pembangunan tingkat permulaan yang dilakukan oleh Bechtel & Co..
Dari luar negeri Luwu sudah mendapat pula bantuan melalui USAID yang terkordinasi dalam proyek Luwu, transmigrasi dan irigasi pertanian di wilayah Luwu utara, menjadi sasaran pokok. Kebanyakan proyek dari pusat lebih dekat dengan obyek dan proyek transmigrasi.
Dalam bidang pemerintahan.
Setelah kedaulan RI dicapai, rakyat Luwu berharap untuk dijadikan daerah istimewa, salah satu daerah istimewa setelah Jokyakarta pada masa itu. Alasan raja dan rakyat Luwu, menghaap dan memohon hal ini, karena kerajaan Luwu salah satu kerajaan yang raja dan rakyatnya serentak mendukung dan mempertahan proklamasi kemerdekaan 17-8-1945. Malah sebelum kemerdekaan diproklamirkan oleh Ir Sukarno dan Drs M. Hatta, Andi Jemma pada tanggal 15-8-1945 membentuk “Gerakan Sukarno Muda”. Tetapi impian rakyat dan raja Luwu tidak kunjung datang. Mungkin kerena komunikasi antara Rakyat Luwu dan pemerintah pusat tidak tersambung, hingga impian tetap impian. Setelah keamanan di Luwu mulai pulih, rakyat Luwu dalam tahun enampuluhan bercita-cita untuk menjadi Propensi Daerah Tingkat I, sebelum terbentuk Propensi Sulawesi Tengah. Tetapi sekali lagi mungkin komunikasi tidak bersambung ke pusat, atau tersendat dan terhalang dalam perjalanan hal ini tidak pernah tercapai. Malah yang jadi Propensi adalah Palu dengan nama Propensi Sulawesi Tengah.
Dengan lajunya pembangunan di Luwu, ditunjang jalanraya antara Makassar Malili membelah dua daerah Luwu dari arah Selatan Batu Lappa ke Utara, Timur Malili, yang orang bilang jalanraya terbaik diluar pulau Jawa, yang dibangun dan digunakan pada awal tahun delapanpuluhan, ditambah pula dengan berpungsinya Lapangan Udara Andi Jemma di Masamba, pembangunan di daerah Luwu makin laju, cepat mengimbangi keterbelakangan yang dialami daerah ini selama belasan tahun lamanya.
Setelah terjadi reformasi, dan berlaku undang-undang No.22, merupakan angin buritan yang menopan layar Luwu untuk mewujudkan lahirnya Luwu-Utara, yang beribu kota di Masamba masih dalam kurung waktu tahun 1999. Dan dalam tahun 2002 Palopo berpeluang berfungsi kota otonom Palopo, selain itu, Luwu Timur, selaku penghasil Nikkel terbesar di Kawasan Timur Indonesia menjadi Kabupaten Luwu Timur dengan ibu kota Malili. Terbentuknya Kabupaten Luwu Utara beribu kota di Masamba, Kabupaten Luwu-Timur yang beribu kota di Malili dan terwujudnya permerintahan otonom kota Palopo. Kabupaten Luwu terdesak dan terpaksa memindahkan ibu kota ke Luwu, beribu kota baru di Belopa, lebih 50 Kilometer sebelah Selatan kota Palopo.
Dengan terbentuknya kota Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu-Utara, dan Kabupaten Luwu-Timur, dan akan lahir menyusul Kabupaten Luwu Tengah, dengan demikian Luwu mewujudkan Luwu berwajah baru.
Luwu sekarang menjadi beberapa pemerintahan tingkat kabupaten dan kota, hingga Luwu tidak mau diceraikan dalam mewujud “ Tana-Luwu”.
Melihat syarat-syarat yang telah banyak dipenuhi oleh Tana-Luwu, impian rakyat dan politikus dari tana Luwu jangan dibiarkan tetap jadi impian, sebagai mana dialami rakyat Luwu masa lalu, dari satu kekecewaan kekecewaan yang lain untuk mewujudkan Propensi Tana-Luwu. Propensi Luwu Raya sudah sekitar setengah abad menjadi idaman politik rakyat Luwu.
Oleh: Hamus Rippin
LA GALIGO

LA GALIGO
Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge’ langi’ kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’, sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga (kemungkinan Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu’.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
[sunting]
La Galigo di Sulawesi Tengah
Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu’.
Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi’ Buri’ (Tasik Buri).
Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu’. Sesampainya tentara Luwu’, kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.
Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.
[sunting]
La Galigo di Sulawesi Tenggara
Ratu Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).
[sunting]
La Galigo di Gorontalo
Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu’ dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu’. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
[sunting]
La Galigo di Malaysia dan Riau
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.
Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh ‘Keraing Semerluki’ dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo’, dimana nama sebenarnya ialah Sumange’rukka’ dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo’. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta’ Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko’ dari Peneki, sebuah daerah di Wajo’, menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma’dukelleng, juga ke Johor. La Ma’dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Menambun (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella’ (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke’, menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu’. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge’ kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.

0 komentar:

Posting Komentar