Sekali Lagi, Tentang Lahan Untuk Petani

Rabu, 27 April 2011

Beberapa waktu terakhir ini, permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan Kaum Tani kembali muncul dalam pemberitaan media massa. Dimulai dari ulat bulu yang menyerang hasil pertanian, bencana dan gagal panen, perampasan lahan petani oleh perusahaan pertambangan dan perkebunan, masuknya buah impor, hingga perebutan lahan oleh kesatuan dalam TNI AD yang berujung penembakan terhadap belasan petani.
Dari berita-berita di atas, tampak permasalahan petani sedemikian luas dan kompleks. Dimulai dari masalah penguasaan lahan, kemudian petani harus menghadapi masalah kekurangan modal, ketinggalan teknologi (termasuk untuk mengatasi masalah alam), sampai kemudian masalah pemasaran hasil pertanian. Dalam masalah-masalah tersebut, konflik penguasaan lahan, sebagai sarana paling mendasar dari produksi pertanian, makin sering terjadi.
Dalam peringatan Hari Tani tanggal 24 September 2010, Presiden SBY dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Joyo Winoto, menjanjikan prioritas penanganan masalah pertanahan. Masalah-masalah prioritas disebutkan meliputi; pembaruan agraria, penyelesaian konflik agraria, penyelesaian persoalan tanah terlantar, distribusinya kepada Rakyat dan percepatan sertifikasi. Tetapi, menurut Ketua Serikat Tani Nasional (STN), Yudi Budi Wibowo, janji pemerintah untuk mendistribusi lahan kepada rakyat sebenarnya telah terucapkan sejak tahun 2006, dan hingga kini tak kunjung direalisasikan. Dari 7,3 juta hektar lahan terlantar yang dijanjikan tahun 2010, ternyata hanya 260 hektar yang didistribusikan kepada 5.141 petani, atau, bagi tiap petani hanya peroleh rata-rata 0,05 hektar.
Berbalik dari perlakuan terhadap petani, pemerintah justru begitu royal mengeluarkan ijin kepada perusahaan-perusahaan raksasa perkebunan, pertambangan, dan atau kehutanan. Sebagai contoh, pada sektor kelapa sawit, di tahun 2006 luas perkebunan sawit se-Indonesia masih sekitar 4 juta hektar, sementara di tahun 2010 telah berkembang jadi 9 juta hektar. Dari jumlah tersebut, 36% dikelola oleh jutaan keluarga petani, sementara 43% di kelola oleh beberapa keluarga pemilik perusahaan. Sisanya dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hampir sama dengan perkebunan kelapa sawit, luas areal yang diijinkan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), khususnya industri pulp pada tahun 2007 telah mencapai 10,37 juta hektar. Sebanyak 62% dari kapasitas produksi pulp nasional dikuasai hanya oleh dua perusahaan, yaitu PT. Riau Andalan Pulp Paper (RAPP) dan PT. Indah Kiat Pulp and Paper Riau. Angka-angka ini tentunya belum menggambarkan keseluruhan realitas penguasaan lahan. Namun darinya dapat diperoleh gambaran ketidakadilan penguasaan lahan yang lebih mementingkan para pemodal besar.
Keberpihakan pemerintah pada pemodal besar ini, secara hukum, didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang memang melegalkan pencaplokan lahan. Pada bagian ini, sudah pada tempatnya, bila kita menagih komitmen Presiden untuk berpihak kepada petani. Namun, sejalan dengan tuntutan kepada pemerintah pusat tersebut, tetap selalu penting melancarkan perjuangan di daerah-daerah untuk membendung laju penjarahan lahan oleh korporasi.
Selanjutnya, lahan yang berhasil dikuasai petani, apabila tidak ada modal untuk mengolahnya, dapat kembali diterlantarkan,. Oleh karena itu, dalam situasi enggannya perbankan memberikan modal pinjaman berbunga rendah, maka penting bagi petani untuk mulai mengembangkan sistem peminjaman yang mandiri, seperti melalui koperasi simpan pinjam. Ini merupakan langkah darurat, di samping mengupayakan tindakan politik untuk memperoleh dukungan yang sebesar-besarnya dari pemerintah, baik di pusat maupun di daerah.
(Berdikari ON LINE)

0 komentar:

Posting Komentar