BRICS dan Dorongan Kepada Dunia Multipolar

Rabu, 27 April 2011

Kota Sanya, di provinsi Hainan, Tiongkok, menjadi saksi utama bangkitnya kutub baru dalam perdagangan dan geopolitik dunia. Lima negara besar di dunia, yaitu Brazil, Rusia, India, China (Tiongkok), dan Afrika Selatan, mengadakan pertemuan khusus untuk membahas kerangka baru dalam perdagangan dunia.
Lima negara besar ini, yang mewakili 3 milyar atau 43% dari penduduk dunia, telah meneriakkan perlunya mengubah struktur ekonomi dan tata-perdagangan global yang timpang dan tidak adil. Meskipun bukan pengelompokan baru, tetapi kehadiran blok lima negara, atau sering disebut BRICS, telah memberi tantangan serius kepada model ekonomi unipolar yang dikomandoi oleh imperialisme AS.
Dalam sambutannya di pertemuan itu, Presiden Tiongkok Hu Jintao telah mengatakan perlunya mereformasi sistim keuangan dan moneter dunia. Ia dengan jelas telah memberi sinyal bahwa perlu dibentuk tata ekonomi baru, yang memungkinkan seluruh negara di dunia bisa ambil bagian dan mengambil keuntungan secara adil.
Bahkan, Menteri Perdagangan dan Perindustrian Afrika Selatan, Rob Davies, saat memberikan sambutan dalam pertemuan ini, telah menyerukan perlawanan tanpa kompromi untuk memperjuangan tata dunia dan perdagangan yang adil dalam putaran Doha mendatang.
Salah satu rekomendasi penting lainnya dari pertemuan BRICS ini adalah adanya keinginan kuat untuk mendorong industrialisasi di negara masing-masing, dengan mengubah struktur industri dari orientasi ekspor dan padat karya menjadi industri berteknologi tinggi dan berorientasi ke dalam negeri.
Rekomendasi ini jelas menantang imperialisme. Untuk diketahui, salah satu cara imperialisme mempertahankan ketergantungan negara bekas jajahan kepada penjajahnya adalah menghilangkan basis proyek industrialisasi negeri-negeri bekas jajahan. Dengan ketiadaan industrialisasi, maka negeri-negeri imperialis akan bebas mengangkut bahan mentah dan sumber daya alam dari negeri-negeri dunia ketiga atau bekas jajahan, lalu memaksa negara-negara tersebut mengimpor barang-barang jadi dari negeri-negeri imperialis.
Rekomendasi penting yang sangat progressif dari negara-negara BRICS ini adalah keinginan untuk memangkas kesenjangan ekonomi yang lebar dan keinginan kuat untuk menjalankan sistim jaminan sosial. Rekomendasi ini sangat jelas menusuk langsung proyek neoliberalisme. Sebagaimana umum kita ketahui, neoliberalisme telah menciptakan kesenjangan sosial dan pendapatan yang sangat parah di negeri-negeri seperti kita (Indonesia). Selain itu, penganjur neoliberal telah mengoperasikan sejumlah kebijakan untuk memangkas subsidi sosial dan menjual perusahaan-perusahaan atau layanan publik kepada asing. Dengan pemberlakuan sistim jaminan sosial dan perang melawan kesenjangan, maka negara BRICS telah menciptakan antitesa yang sangat jelas dan gamblang terhadap neoliberalisme.
Gagasan-gagasan BRICS ini perlu kita sambut baik dan apresiasi, terutama karena ini akan menjadi “lokomotif” penting menuju tata-dunia baru. Negara-negara progressif di Amerika Latin telah membangun ALBA-Bolivarian Alternative for Latin America and the Caribbean. ALBA juga telah menjadi alat integrasi regional yang anti-imperialisme dan memperjuangkan tata-dunia baru yang adil dan berdasarkan solidaritas.
Sayang sekali, Indonesia, salah satu negara besar dengan jumlah penduduk 230 juta orang, justru tidak ambil-bagian dalam gerakan multipolarisme ini. Indonesia di bawah SBY-Budiono masih rela menjadi pasien Washington Consensus dan tetap rela berada di bawah ketiak imperialisme AS. Padahal, jika berbicara perjuangan menciptakan tata dunia baru, Indonesia pernah menjadi sponsor utamanya. Sebut saja, Indonesia pernah menjadi inisiator dan pelaksana Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955, di Bandung. (Berdikari on line)

0 komentar:

Posting Komentar