HAK PASIEN TERHADAP DOKTER ATAU RUMAH SAKIT

Rabu, 04 Mei 2011


Akhir-akhir ini banyak dibicarakan di media massa masalah dunia kedokteran yang dihubungkan dengan hukum. Bidang kedokteran yang dahulu dianggap profesi mulia, seakan-akan sulit tersentuh oleh orang awam, kini mulai dimasuki unsur hukum. Gejala ini tampak menjalar ke mana-mana, baik di dunia barat yang mempeloporinya maupun Indonesia. Hal ini terjadi karena kebutuhan yang mendesak akan adanya perlindungan untuk pasien maupun dokternya.

Salah satu tujuan dari hukum adalah untuk melindungi kepentingan pasien di samping mengembangkan kualitas profesi dokter atau tenaga kesehatan. Keserasian antara kepentingan pasien dan kepentingan tenaga kesehatan, merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem kesehatan. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingan itu harus diutamakan.
Di satu pihak pasien menaruh kepercayaan terhadap kemampuan profesional tenaga kesehatan. Di lain pihak karena adanya kepercayaan tersebut seyogianya tenaga kesehatan memberikan pelayanan kesehatan menurut standar profesi dan berpegang teguh pada kerahasiaan profesi.
Kedudukan dokter yang selama ini dianggap lebih "tinggi" dari pasien disebabkan keawaman pasien terhadap profesi kedokteran. Dengan semakin berkembangnya masyarakat, hubungan tersebut secara perlahan-lahan mengalami perubahan. Kepercayaan kepada dokter secara pribadi berubah menjadi kepercayaan terhadap keampuhan ilmu kedokteran dan teknologi.
Agar dapat menanggulangi masalah secara proporsional dan mencegah apa yang dinamakan malpraktek di bidang kedokteran, perlu diungkap hak dan kewajiban pasien. Pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan akan meningkatkan kualitas sikap dan tindakan yang cermat dan hati-hati dari tenaga kedokteran.
Klien mempunyai hak legal yang diakui secara hukum untuk mendapatkan pelayanan yang aman dan kompeten. Perhatian terhadap legal dan etik yang dimunculkan oleh konsumen telah mengubah sistem pelayanan kesehatan.
Kesadaran masyarakat terhadap hak-hak mereka dalam pelayanan kesehatan dan tindakan yang manusiawi semakin meningkat, sehingga diharapkan pihak pemberi pelayanan kesehatan dapat memberikan pelayanan yang aman, efektif dan ramah terhadap mereka. Jika harapan ini tidak terpenuhi, maka masyarakat akan menempuh jalur hukum untuk membela hak-haknya.
Hubungan Antara Pasien Dengan Tenaga Medis
Menurut Kartono, hubungan pasien dan dokter saat ini tidak lagi feodalistik di mana pasien biasanya pasrah dan menyerah pada dokter. Kini pasien semakin sadar bahwa dirinya sebagai konsumen mengeluarkan biaya untuk mendapat pelayanan yang baik dari dokter sehingga ketika hasilnya tidak sesuai dengan harapan maka konflik sangat mungkin terjadi.
Dalam era kesadaran konsumen sekarang selain pasien yang semakin sadar akan haknya, dokter pun membutuhkan pasien walau mereka lebih sering membantah hal ini.
Pasien pada umumnya ingin cepat sembuh dan mendapatkan pelayanan seperti yang diharapkan. Selain itu pasien juga ingin agar setiap pertanyaannya dijawab tuntas. Sementara dokter punya harapan pasiennya akan menurut dan tidak banyak bertanya. Perbedaan ini, menurut dia, merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik antara dokter dan pasien.
Menghadapi hal tersebut, lanjut Kartono, satu hal yang harus disadari dokter adalah keadaan emosi pasien. Setiap pasien yang datang ke dokter, apalagi ke rumah sakit, akan merasa stres. Hal ini disebabkan keadaan penyakitnya dan lingkungan rumah sakit yang berbeda dengan dirinya. Dengan begitu pasien lebih cenderung memakai emosi dalam bertindak. Dan jika sikap dokter tidak tepat, maka pasien akan mudah marah dan tersinggung.
Konsep sakit yang berbeda, menurut Kartono, merupakan faktor lain penyebab konflik. Bagi pasien, ada yang menganggap sakit itu sebagai ancaman serius, namun ada juga yang menganggap sakit itu sebagai peluang untuk mendapatkan perhatian lebih dari teman atau keluarga. Bahkan ada yang menganggap sakit kesempatan untuk bolos kerja. Sementara bagi dokter, penyakit seorang pasien hanyalah salah satu problem di antara sekian banyak pasien lainnya. Sehingga pendekatan yang dipakai dokter umumnya teknikal rasional. Jika pasien panik melihat darah keluar dari tubuhnya dan ingin segera masuk ICU, dokter belum tentu berpikir serupa.
Semua perbedaan tersebut, kata Kartono, dapat diselesaikan melalui komunikasi dan itu harus dimulai dari dokter. Kadang klaim seorang pasien itu bukan berpangkal dari masalah benar atau salah, tapi dari rasa ketidakpuasan. Untuk itu tidak ada jalan selain berusaha mengerti dan berkomunikasi dengan pasien dengan baik.
Konflik antara dokter dan pasien tidak perlu terjadi seandainya dokter benar-benar memahami hak pasien. Menurut salah seorang anggota dewan pembina RS Honoris, Doktor Herkutanto, hanya ada dua dasar yang membuat dokter bisa menolak memberi informasi medis pada pasiennya. Pertama jika membahayakan jiwa sang pasien dan kedua jika pasiennya tidak cakap, misalnya sakit jiwa atau masih anak-anak.
Kasus hukum dalam hubungan dokter dan pasien terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara keharusan dan kenyataan. Disanalah letak pentingnya medical record untuk penyesuaian. Sayangnya hingga kini persepsi tentang medical record itu masih salah, banyak dokter yang beranggapan bahwa rekam medis hanyalah catatan pengingat bagi dirinya. Untuk menghindari hal tersebut maka hubungan dokter dengan pasien perlu dibina dengan baik.
Pola hubungan pasien dengan dokter secara umum dapat dibagi atas tiga macam bentuk :
1.Priestly model (paternalistic), dalam hubungan ini dokter menjadi lebih dominan dibanding dengan pasien.
2.Collegial model, dalam hubungan antara pasien dengan dokter lebih bersifat sebagai mitra.
3.Engineering model, dalam hubungan ini pasien menjadi lebih dominan dibanding dengan dokter.

Hak Pasien
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasien sebagai konsumen kesehatan memiliki perlindungan diri dari kemungkinan upaya kesehatan yang tidak bertanggungjawab seperti penelantaran. Pasien juga berhak atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan terhadap pelayanan jasa kesehatan yang diterima. Dengan hak tersebut maka konsumen akan terlindungi dari praktik profesi yang mengancam keselamatan atau kesehatannya.
Hak pasien yang lainnya sebagai konsumen adalah hak untuk didengar dan mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang didapatkan tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat menyampaikan keluhannya kepada pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan rumah sakit dalam pelayanannya. Selain itu konsumen berhak untuk memilih dokter yang diinginkan dan berhak untuk mendapatkan opini kedua (second opinion), juga berhak untuk mendapatkan rekam medik (medical record) yang berisikan riwayat penyakit pasien.
Hak-hak pasien juga dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 14 undang-undang tersebut mengungkapkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan kesehatan optimal. Pasal 53 menyebutkan bahwa setiap pasien berhak atas informasi, rahasia kedokteran, dan hak opini kedua. Pasal 55 menyebutkan bahwa setiap pasien berhak mendapatkan ganti rugi karena kesalahan dan kelalaian petugas kesehatan.
Ikatan dokter Indonesia (IDI) pada akhir Oktober 2000 juga telah berikrar tentang hak dan kewajiban pasien dan dokter, yang wajib untuk diketahui dan dipatuhi oleh seluruh dokter di Indonesia. Salah satu hak pasien yang utama dalam ikrar tersebut adalah hak untuk menentukan nasibnya sendiri, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, serta hak atas rahasia kedokteran terhadap riwayat penyakit yang dideritanya.
Hak menentukan nasibnya sendiri berarti hak memilih dokter, perawat dan sarana kesehatannya dan hak untuk menerima, menolak atau menghentikan pengobatan atau perawatan atas dirinya, tentu saja setelah menerima informasi yang lengkap mengenai keadaan kesehatan atau penyakitnya.
Sementara itu, pasien juga memiliki kewajiban, yaitu memberikan informasi yang benar kepada dokter dengan i’tikad baik, mematuhi anjuran dokter atau perawat, baik dalam rangka diagnosis, pengobatan maupun perawatannya, dan kewajiban memberi imbalan jasa yang layak. Pasien juga mempunyai kewajiban untuk tidak memaksakan keinginannya agar dilaksanakan oleh dokter apabila ternyata berlawanan dengan kebebasan dan keluhuran profesi dokter.
Proses untuk ikut menentukan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap pasien setelah mendapatkan cukup informasi, dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah kesepakatan yang jelas (informed consent). Di Indonesia ketentuan tentang informed consent ini diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1981 dan Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor 319/PB/A4/88. Pernyataan IDI tentang informed consent ini adalah :
  1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
  2. Semua tindakan medis memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
  3. Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang cukup tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risikonya.
  4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
  5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Tidak boleh menahan informasi, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberi informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat atau paramedik lain sebagai saksi adalah penting.
  6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan akan diambil. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis.

0 komentar:

Posting Komentar